Rabu, 18 November 2015

Penjelasan Giant Sea Wall

Muslim Muin
Keputusan mempercepat pembangunan giant sea wall Jakarta menjadi 2014 sangat mengejutkan. Keputusan bersama Menko Perekonomian, Menteri Perhubungan, Menteri PU, dan gubernur tiga wilayah (Jakarta, Jawa Barat, Banten) perlu dikaji ulang.
Giant sea wall adalah sebuah tanggul laut raksasa yang membentengi Teluk Jakarta. Proyek dengan panjang 30 kilometer dan bernilai di atas Rp 200 triliun tersebut dirancang untuk mengatasi banjir akibat kenaikan permukaan air laut, membersihkan air sungai sebelum ke laut, dan reklamasi pantai.
Namun, sebagai seorang ahli teknik kelautan, penulis tidak sependapat dengan keputusan itu. Tanggul laut raksasa adalah proyek salah kaprah karena akan lebih banyak merugikan.
Jakarta tidak memerlukan tanggul laut raksasa karena tidak ada banjir dari laut. Kalaupun terjadi rob, itu lebih disebabkan penurunan muka tanah, bukan perubahan muka air laut.
Sebaliknya, tanggul laut raksasa akan memperparah banjir di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang. Kehadiran tanggul laut akan memperpanjang alur sungai sehingga memperlambat aliran air. Belum lagi peningkatan laju sedimentasi karena menurunnya kecepatan aliran air. Dengan demikian, selain banjir juga terjadi percepatan pendangkalan sungai yang perlu biaya pengerukan rutin besar.
Dampak lain adalah penutupan dua pelabuhan perikanan Nusantara. Ribuan nelayan harus dipindahkan. Pembangkit Listrik Muara Karang juga harus ditutup karena aliran air pendingin tidak lagi tersedia. Kalaupun dipertahankan, biaya operasinya sangat besar karena memerlukan pompa yang berjalan terus.
Tanggul laut raksasa yang direncanakan dalam sistem tertutup membuat air tidak mengalir. Karena itu, kualitas lingkungan Laut Jakarta akan rusak.
Awal mula
Muka air laut dipengaruhi pasang surut, tsunami, badai, dan pemanasan global. Fluktuasi muka air laut di Jakarta lebih banyak dipengaruhi pasang surut.
Jakarta berada pada perairan dangkal dan terlindung dari tsunami. Ancaman tsunami untuk Teluk Jakarta berasal dari Selat Sunda (Gunung Krakatau). Sebelum merambat ke Laut Jawa, tsunami harus melalui Selat Sunda yang sempit dan dangkal sehingga sebagian energi hilang. Gelombang tsunami yang merambat di Teluk Jakarta juga sangat kecil karena berada dalam daerah terlindung.
Posisi Teluk Jakarta sangat jauh dari pusat badai di Laut China Selatan. Perubahan muka air laut akibat badai akan lebih besar dampaknya di Malaysia dan Kalimantan dibanding di Jakarta.
Pemanasan global tidak hanya mengancam Jakarta, tetapi juga kota-kota lain di dunia. Kelihatan sekali pejabat DKI memperlakukan Jakarta sebagai kota cengeng yang tidak terurus dan diperbodoh konsultan asing.
Jadi, Jakarta tidak memerlukan tanggul laut raksasa.
Usulan Belanda
Tanggul laut raksasa adalah proyek peninggalan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, diusulkan konsultan Belanda. Mereka menyebutnya Sea Dike Plan Tahap III, dibangun tahun 2020-2030. Sesuai permintaan Gubernur DKI Jakarta yang baru, Joko Widodo, Menko Perekonomian setuju mempercepat ide ini langsung pada tahap III tanpa melalui tahap I dan II.
Peta tata letak menunjukkan, tanggul laut raksasa Jakarta tidak sama dengan Palm Island Project di Dubai yang jadi acuan Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama. Tanggul laut raksasa dirancang dalam sistem tertutup sehingga tidak terjadi putaran aliran air yang akan memperburuk kualitas perairan Jakarta.
Juga tidak tampak akses keluar untuk Pelabuhan Perikanan Nusantara sehingga fasilitas yang sangat penting ini harus ditutup. Karena itu, keputusan untuk mempercepat proyek tanggul laut raksasa perlu dikaji ulang.
Selain akan berdampak pada sulitnya Pembangkit Listrik Muara Karang mendapatkan air pendingin, ditutupnya Teluk Jakarta juga menyulitkan jalur pipa untuk pasokan gas dan minyak. Karena itu, sekali lagi, rencana ini harus dikaji saksama. Pipa yang ada belum tentu mampu menahan beban tanggul, apalagi mengantisipasi risiko penurunan tanah di tanggul itu.
Aliran sungai
Mari kita lanjutkan uraian dengan melihat skema aliran air sungai ke laut setelah tanggul laut raksasa dibangun. Dari tata letak yang disajikan dalam laporan Jakarta Coastal Defense Strategy, tampak bahwa untuk mempertahankan muka air di dalam tanggul diperlukan pompa yang harus bekerja tanpa henti.
Bila pompa rusak, Jakarta akan tenggelam. Ini bila kita menggunakan skenario terburuk laju penurunan 10 cm per tahun. Diperkirakan, penurunan muka tanah sepanjang 2010-2030 adalah sekitar 2 meter.
Tinggi Sea Dike 3 ternyata tak sesuai. Kenyataannya, Sea Dike 3 akan dibangun pada kedalaman lebih dari 8 meter, tak hanya 3 meter seperti yang disampaikan konsultan Belanda. Karena itu, Pemerintah Indonesia harus hati-hati mengkaji ide ini.
Jika ukuran Sea Dike 3 disesuaikan dengan kedalaman air di jalur tanggul laut raksasa tampaklah ukuran tanggul laut raksasa sangat besar bila dibandingkan dengan hanya membuat tanggul di sepanjang pantai yang, menurut saya, merupakan solusi lebih masuk akal dan murah. Tentu saja ketinggian tanggul disesuaikan laju penurunan tanah.
Dari segi biaya, pembuatan tanggul jauh lebih murah. River dike versi penulis hanya lebih tinggi 1 meter dibandingkan river dike versi konsultan Belanda. River dike yang lebih tinggi juga berarti menampung air tawar lebih banyak.
Pembaca bisa melihat dengan jelas, sistem yang saya usulkan tak memerlukan pompa untuk mengalirkan air sungai ke laut karena memanfaatkan gravitasi.
Tanggul sepanjang pantai tidak memerlukan pompa untuk mengalirkan air sungai ke laut. Murah dan tidak perlu menutup fasilitas yang sudah ada.
Sekali lagi bisa disimpulkan, Jakarta tidak memerlukan tanggul laut raksasa. Jakarta cukup membuat tanggul sepanjang pantai pada daerah yang mengalami penurunan tanah dan mempertinggi tanggul sungai. Jakarta harus segera melarang reklamasi pantai karena akan memperparah banjir di kawasannya.
Muslim Muin Ketua Kelompok Teknik Kelautan Institut Teknologi Bandung

KOMPAS.com – Peneliti kealutan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, meminta agar data hasil uji kelayakan giant sea wall serta data lebih detail tentang laju penurunan tanah di Jakarta dibuka kepada kalangan ilmuwan.
Widjo mengungkapkan bahwa data tersebut bermanfaat sehingga kalangan ilmuwan bisa memberikan rekomendasi terkait rencana pembangunan tanggul raksasa yang dikatakan untuk mengatasi rob.
“Terutama data hasil kajian tim Belanda,” kata Widjo. Data laju penurunan tanah dan lainnya dinyatakan dimiliki oleh pihak Kementerian Koordinator Perekonomian. “Tapi sampai sekarang juga belum di-share,” imbuhnya.
Dihubungi Kompas.com, Senin (6/10/2014), Widjo mengungkapkan bahwa untuk bisa memberikan rekomendasi, kalangan ilmuwan membutuhkan data detail. Data akan membantu kalangan ilmuwan melakukan pengkajian risiko dan menentukan alternatif solusi.
Sebelumnya, Widjo mengungkapkan bahwa pembangunan giant sea wall berpotensi merugikan dan sia-sia. Pembangunan tanggul tak bakal mengatasi banjir namun justru menurunkan kualitas air, meningkatkan muka air laut, dan merusak lingkungan.
Pemodelan yang dilakukan Widjo menunjukkan, pembangunan tanggul menaikkan muka air laut setinggi 0,5-1 meter selama 14 hari pada dua skenario dua musim ekstrem. Kualitas air menurun, ditandai dengan kenaikan biological oxygen demand (BOD) lebih dari 100 persen, penurunan dissolved oxygen (DO) lebih dari 20 persen, dan penurunan salinitas air lebih dari 3 persen.
Widjo menilai, pembangunan giant sea wall untuk mengatasi banjir rob salah kaprah. Masalahnya, banjir rob Jakarta lebih disebabkan oleh penurunan tanah akibat eksploitasi air berlebihan.
Editor: Yunanto Wiji Utomo
Wacana pembangunan tanggul laut raksasa Jakarta dan reklamasi dalam bentuk pulau-pulau muncul pada era Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, dengan usulan datang dari konsultan Belanda. Awalnya disebut Sea Dike Plan Tahap III dan akan dibangun pada 2020-2030.
Proyek itu lalu dimasukkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI untuk 2010-2030. Disebutkan, untuk mengatasi pasang naik air laut yang semakin tinggi karena pemanasan global, akan dibangun pulau-pulau dengan cara reklamasi. Pulau itu akan dilengkapi tanggul laut raksasa.
Belakangan, proyek yang kini disebut ”Pembangunan Pesisir Terpadu Ibu Kota Negara” juga dimaksudkan untuk menyediakan sumber air bersih. Asumsinya, tanggul akan terisi air tawar dari 13 sungai yang bermuara di dalamnya. Dengan penyediaan air baku, diharapkan penyedotan air tanah pemicu penurunan daratan hingga 10 cm per tahun dapat dihentikan.
Dengan alasan itu pula, pada Juni 2013, pemerintah pusat bersama Pemprov DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten bersepakat mempercepat proyek itu. ”Untuk giant sea wall, dari jadwal awalnya tahun 2020, akan ground breaking pada 2014,” kata mantan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, di Jakarta, seperti dikutip Kompas, Kamis (7/3/2013).
Percepatan dilakukan karena mendesaknya kebutuhan fasilitas itu, yaitu dipicu penurunan permukaan tanah di pesisir DKI yang akan mencapai 4 meter pada 2020.
Namun, menurut Muslim Muin, ahli oseanografi yang juga mantan Kepala Program Studi Kelautan Institut Teknologi Bandung (ITB), percepatan itu lebih karena besarnya minat swasta. Tak hanya menjadi infrastruktur pengendali banjir, proyek itu memang disiapkan menghasilkan lahan reklamasi hingga 4.000 hektar.
Gubernur DKI Joko Widodo, yang juga presiden terpilih, mengakui besarnya minat pihak swasta. ”Tanggul laut memang menarik secara bisnis dan komersial sehingga banyak yang mau terlibat. Tidak hanya satu dua pihak, tetapi banyak,” kata Jokowi (Kompas, 7/3/2013).
Kamis (9/10/2014), pemancangan tiang pertama itu akhirnya dilakukan, menandai pembangunan tanggul laut sepanjang 32 kilometer atau Tahap I dari tiga lapis tanggul. Dari panjang itu, pemerintah pusat dan Pemprov DKI hanya akan menanggung pembiayaan 8 kilometer dengan dana Rp 3,5 triliun. Sisanya, 24 km dibiayai swasta pemegang konsesi lahan reklamasi.
Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia Bernardus Djonoputro mengkritik model pembangunan itu. ”Menggantungkan pembangunan infrastruktur dasar kepada swasta merupakan cara berpikir keliru. Logikanya, swasta mau masuk pasti kalau menguntungkan bisnis mereka,” tuturnya.
Dengan cara pikir swasta, tidak mengherankan jika proyek cenderung meminggirkan kepentingan masyarakat, utamanya nelayan di pesisir. ”Itu berpotensi memicu kesenjangan luar biasa besar antara penduduk asli Jakarta dan pelaku ekonomi baru yang akan muncul di pulau-pulau reklamasi ini. Apakah itu sudah dikaji dampaknya?” kata Djonoputro.
Berdasarkan data dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), sedikitnya 16.855 nelayan akan tergusur.
Setiap pembangunan kota perlu diukur manfaat dan dampaknya bagi warga, demikian pula rencana pembangunan tanggul laut raksasa di Teluk Jakarta. Siapa akan menangguk untung dan siapa kelak yang menanggung dampak buruknya harus terjelaskan kepada publik karena kota dibangun untuk warga, bukan segelintir elite, seperti politisi atau pebisnis.
Setiap pembangunan kota perlu diukur manfaat dan dampaknya bagi warga, demikian pula rencana pembangunan tanggul laut raksasa di Teluk Jakarta. Siapa akan menangguk untung dan siapa kelak yang menanggung dampak buruknya harus terjelaskan kepada publik karena kota dibangun untuk warga, bukan untuk segelintir elite, seperti politisi atau pebisnis.
Menurut Muslim Muin, ahli oseanografi yang juga mantan Kepala Program Studi Kelautan Institut Teknologi Bandung (ITB), tanggul laut raksasa bukan jawaban masalah Jakarta. Sebaliknya, tanggul ini berpotensi membawa banyak masalah baru.
Jika alasannya mengatasi banjir rob, kata Muslim, yang dibutuhkan adalah tanggul pesisir. ”Saya setuju daratan Jakarta mengalami penurunan signifikan. Karena itu, perlu ditanggul bagian pesisir yang menurun itu, selain juga perlu menanggul sungai-sungainya,” ungkapnya.
Pembuatan tanggul laut, kata Muslim, dilakukan lebih untuk melindungi 17 pulau reklamasi. Itulah mengapa pihak swasta yang mendapat konsesi lahan reklamasi bersemangat.
Alasan menyediakan air bersih lebih tak masuk akal. ”Debit air yang masuk Teluk Jakarta dari 13 sungai rata-rata 300 meter kubik per detik. Kebutuhan air Jakarta hanya 30 meter kubik per detik. Artinya, ada 270 meter kubik harus dipompa keluar, itu energi memompanya pakai apa?” katanya. ”Kalau mau ambil air untuk bahan baku air bersih, lebih masuk akal dari sungai di bagian hulu.”
Total biaya untuk memompa air dari tanggul dan meningkatkan kualitas air dalam tanggul, menurut hitungan Muslim, 600 juta dollar AS per tahun. ”Kalau alasannya kenaikan muka air laut, Singapura dan Malaysia juga terancam. Apakah mereka membuat tanggul laut? Tidak, karena kenaikan muka air laut tidak signifikan.”
Wacana lama
Wacana pembangunan tanggul laut raksasa Jakarta dan reklamasi dalam bentuk pulau-pulau muncul pada era Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, dengan usulan datang dari konsultan Belanda. Awalnya disebut Sea Dike Plan Tahap III dan akan dibangun pada 2020-2030.
Proyek itu lalu dimasukkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI untuk 2010-2030. Disebutkan, untuk mengatasi pasang naik air laut yang semakin tinggi karena pemanasan global, akan dibangun pulau-pulau dengan cara reklamasi. Pulau itu akan dilengkapi tanggul laut raksasa.
Belakangan, proyek yang kini disebut ”Pembangunan Pesisir Terpadu Ibu Kota Negara” juga dimaksudkan untuk menyediakan sumber air bersih. Asumsinya, tanggul akan terisi air tawar dari 13 sungai yang bermuara di dalamnya. Dengan penyediaan air baku, diharapkan penyedotan air tanah pemicu penurunan daratan hingga 10 cm per tahun dapat dihentikan.
Dengan alasan itu pula, pada Juni 2013, pemerintah pusat bersama Pemprov DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten bersepakat mempercepat proyek itu. ”Untuk giant sea wall, dari jadwal awalnya tahun 2020, akan groundbreaking pada 2014,” kata mantan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, di Jakarta, seperti dikutip Kompas, Kamis (7/3/2013).
Gubernur DKI Joko Widodo, yang juga presiden terpilih, mengakui besarnya minat pihak swasta. ”Tanggul laut memang menarik secara bisnis dan komersial sehingga banyak yang mau terlibat. Tidak hanya satu dua pihak, tetapi banyak,” kata Jokowi (Kompas, 7/3/2013).
Kamis (9/10/2014), pemancangan tiang pertama itu akhirnya dilakukan, menandai pembangunan tanggul laut sepanjang 32 kilometer atau Tahap I dari tiga lapis tanggul. Dari panjang itu, pemerintah pusat dan Pemprov DKI hanya akan menanggung pembiayaan 8 kilometer dengan dana Rp 3,5 triliun. Sisanya, 24 km dibiayai swasta pemegang konsesi lahan reklamasi.
Sejak awal, proyek giant sea wall Jakarta seperti hendak meniru tanggul laut Belanda, negeri yang sebagian besar daratannya di bawah permukaan laut. Tanggul laut raksasa di Belanda dibangun setelah negeri itu dilanda badai laut berketinggian air 30 meter pada 1953.
Air yang hampir beku menerjang kota, menewaskan 1.835 orang, memaksa 110.000 warga mengungsi. Tiga belas tanggul raksasa dibangun bertahap selama 39 tahun sejak saat itu. ”Indonesia tidak memiliki badai laut,” kata Muslim Muin, ahli oseanografi yang juga mantan Kepala Program Studi Kelautan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Belakangan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melirik tanggul laut raksasa Samangeum, Korea Selatan. Namun, tanggul laut terpanjang di dunia itu bukan tanpa masalah. Setelah terhenti dua tahun karena protes keras masyarakatnya, tanggul laut 33,9 km itu selesai dibangun pada 2006.
Riset Hye Kyung Lee dari Seoul National University (2013), kualitas air yang digelontorkan dari dua sungai ke dalam tanggul ternyata tercemar industri pertanian dan peternakan di hulu. Akibatnya, ide sebagai sumber air bersih tak terwujud.
Bagaimana dengan Teluk Jakarta, muara 13 sungai yang tercemar? Riset Badan Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPDP BPPT) menyebut, pembangunan tanggul laut akan menaikkan muka air di dalam tanggul hingga 0,5-1 meter setelah 14 hari simulasi. Arus air di dalam tanggul juga mengecil sehingga kualitas air dalam tanggul memburuk secara progresif.
Peneliti BPDP BPPT, Widjo Kongko, menyebut, penurunan kualitas air itu ditandai dengan perubahan signifikan parameter lingkungan, seperti kenaikan biological oxygen demand (BOD) lebih dari 100 persen, penurunan dissolved oxygen (DO) lebih dari 20 persen, dan penurunan salinitas air lebih dari 3 persen.
Widodo Pranowo, peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan, mengatakan, proyek itu akan berdampak ekologis, bukan hanya terhadap pesisir Jakarta dan Kepulauan Seribu, melainkan juga hingga Banten. ”Tanggul ini bisa menjadi comberan raksasa,” katanya.
Selain itu, tanggul akan menyebabkan perubahan arus laut dan akan menggerus beberapa pulau di Pulau Seribu, salah satunya Pulau Onrust. Adapun dampak di pesisir Serang, Banten, seperti dikemukakan Kepala Kelompok Peneliti Kerentanan Pesisir KKP Semeidi Husrin, berpotensi merusak pesisir Banten karena pasir reklamasi Teluk Jakarta dari Banten.
Jadi, seharusnya yang dipikirkan dulu adalah menata air di hulu, bukan bendung di hilir. Tanggul laut Jakarta untuk siapa?
Untuk siapa?
Setiap pembangunan kota perlu diukur manfaat dan dampaknya bagi warga, demikian pula rencana pembangunan tanggul laut raksasa di Teluk Jakarta. Siapa akan menangguk untung dan siapa kelak yang menanggung dampak buruknya harus terjelaskan kepada publik karena kota dibangun untuk warga, bukan segelintir elite, seperti politisi atau pebisnis.
Wacana pembangunan tanggul laut raksasa Jakarta dan reklamasi dalam bentuk pulau-pulau muncul pada era Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, dengan usulan datang dari konsultan Belanda. Awalnya disebut Sea Dike Plan Tahap III dan akan dibangun pada 2020-2030.
Proyek itu lalu dimasukkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI untuk 2010-2030. Disebutkan, untuk mengatasi pasang naik air laut yang semakin tinggi karena pemanasan global, akan dibangun pulau-pulau dengan cara reklamasi. Pulau itu akan dilengkapi tanggul laut raksasa.
Belakangan, proyek yang kini disebut ”Pembangunan Pesisir Terpadu Ibu Kota Negara” juga dimaksudkan untuk menyediakan sumber air bersih. Asumsinya, tanggul akan terisi air tawar dari 13 sungai yang bermuara di dalamnya. Dengan penyediaan air baku, diharapkan penyedotan air tanah pemicu penurunan daratan hingga 10 cm per tahun dapat dihentikan.
Dengan alasan itu pula, pada Juni 2013, pemerintah pusat bersama Pemprov DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten bersepakat mempercepat proyek itu. ”Untuk giant sea wall, dari jadwal awalnya tahun 2020, akan groundbreaking pada 2014,” kata mantan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, di Jakarta, seperti dikutip Kompas, Kamis (7/3/2013).
Gubernur DKI Joko Widodo, yang juga presiden terpilih, mengakui besarnya minat pihak swasta. ”Tanggul laut memang menarik secara bisnis dan komersial sehingga banyak yang mau terlibat. Tidak hanya satu dua pihak, tetapi banyak,” kata Jokowi (Kompas, 7/3/2013).
Kamis (9/10/2014), pemancangan tiang pertama itu akhirnya dilakukan, menandai pembangunan tanggul laut sepanjang 32 kilometer atau Tahap I dari tiga lapis tanggul. Dari panjang itu, pemerintah pusat dan Pemprov DKI hanya akan menanggung pembiayaan 8 kilometer dengan dana Rp 3,5 triliun. Sisanya, 24 km dibiayai swasta pemegang konsesi lahan reklamasi.
Nama : Haris Winando
Kelas : 2TB03
NPM : 24314805

Tidak ada komentar:

Posting Komentar